Rabu, 24 Oktober 2012

Money Politic dan Ancaman Demokrasi Lokal

“Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa mendatang akan banyak mengalami banyak masalah. Selain faktor teknis penyelenggaraan, masalah anggaran juga dinilai sebagai faktor penyebabnya”. (Marzuki Alie; 2009)


Tampaknya tanggal 12 bulan 12 tahun2012 ( 12-12-12) menjadi sakral, bukan karena seperti diisukan beberapa kalangan beberapa tahun yang lalu bahwa akan terjadi kiamat. Akan tetapi sakral bagi masyarakat Nganjuk karena akan melakukan hajatan demokrasi untuk memilih pemipimpin (Calon Bupati dan Calon wakil Bupati) untuk periode 2013-2018.
Setelah ditetapkannya undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah sebagai perubahan ke dua atas undang-undang 32 tahun 2004. maka beredar banyak konsekuensi atas diberlakukannya undang-undang tersebut. Ada banyak harapan yang kemudian menjadi spirit baru bagi masyarakat untuk tidak lagi apatis terhadap politik. Hal ini dikarenakan masyarakat bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dari unsur perseorangan tetapi tak sedikit pula yang khawatir terhadap diberlakukannya undang-undang ini. Harapan akan terwujudnya masyarakat yang memiliki pemimpin yang dipilih sesuai dengan hati nuraninya.
Banyak kalangan yang kemudian berharap terhadap berlangsungnya hajatan demokrasi akan segera dilalui beberapa saat lagi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa berdasarkan paparan Bappenas Jatim beberapa tahun lalu bahwa dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, Nganjuk tergolong kabupaten yang tertinggal; Yakni menempati rangking 36. Itu artinya pemimpin yang terpilih pada 12-12-12 yang akan datang memiliki pekerjaan yang tidak mudah. Karena ketika 5 tahun yang akan datang kondisi Nganjuk tetap tidak beranjak dari tempatnya maka harapan akan terwujud nganjuk yang berkemajuan akan segera dikubur dalam-dalam oleh masyarakat Nganjuk, dengan makna lain bahwa perhelatan demokrasi hanya sekedar perebutan kekuasaan tanpa kemudian memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan yang ada di kabupaten yang mudah-mudahan masih menjadi pilihan terakhir masyarakat.
Hal penting yang kemudian harus menjadi renungan sebagaimana bisa kita pinjam dari ungkapan Jim Hightower bahwa democrazy is not something that happens, you know, just at election time, and it's not something that happens just with one event. It's an ongoing building process. But it also ought to be a part of our culture, a part of our lives. Dalam konteks pilkada Nganjuk, hendaknya masyarakat segera terbangun dari penghipnotisan kepentingan politik uang dan segera sadar akan makna penting pemimpin yang visioner. Ini menjadi sangat penting karena seperti ungkapan di atas bahwa pilkada adalah awal dari sebuah proses yang diharapkan tidak hanya membawa kepentingan rakyat untuk lima tahun yang akan datang tetapi lebih dari itu adalah sebagai bagian dari budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat kita.

Hajatan demokrasi bernama pilkada langsung memang masih banyak permasalahan. Mulai dari sengketa perolehan suara pasangan calon, kekerasan yang kerap muncul pada arena pilkada sampai praktik politik uang (money politic). Maka tak pelak kegiatan ini banyak mendapat sorotan tajam dari beberapa kalangan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pernah memberikan komentar tentang praktik demokrasi lokal yang sudah dipandang mengalami disorientasi penyelenggaraan. Pilkada selama ini sudah sarat kepentingan politik uang. Sehingga, siapa pun yang harus maju dan ingin terpilih sebagai kepala daerah, wajib menyediakan miliaran rupiah untuk diberikan kepada para pencoblos atau mereka yang memiliki hak suara.

Parahnya lagi seperti meminjam istilah Harold Lasswell, who what, when and how, politik uang bukan saja berasal dari keinginan partai politik (parpol) pengusung si calon dalam pilkada, namun pula sudah menjadi permintaan dari masyarakat pemilih agar siapa pun yang ingin dipilih dalam pilkada harus memberikan sesuatu hal yang diinginkan masyarakat. Uang kemudian menjadi alat transaksi dalam sebuah kepentingan politik jangka pendek antara calon dalam pilkada dengan masyarakat pemilih. Seolah, bila masyarakat tidak diberi iming-iming, kemungkinan besar masyarakat pemilih akan menjadi pemilih golongan putih (golput) alias lebih baik tidak menjatuhkan pilihan politik apa pun. Kondisi tersebut tentu sangat mengenaskan dan mencederai keberlangsungan demokrasi kita.

Dua hal yang kemudian menjadi renungan kita bersama adalah, pertama; bahwa pemilukada tidak hanya sekedar rotasi kekuasaan semata, tetapi lebih kepada bagaimana kekuasaan yang diperoleh dari hasil pemilukada yang notabene dipilih langsung oleh rakyat (amanah rakyat.red) bisa menjadi kekuatan polotik yang mampu menjadi spirit untuk mensejahterakan. Kedua; Pilkada merupakan instrumen demokrasi dalam memilih kepala daerah yang sejatinya diharapkan daerah tertentu pemimpin yang memiliki legitimasi kekuasaan, lagi-lagi hanya untuk menahkodai daerah tertentu ke arah yang lebih positif. Kita semua mengharapkan bahwa dalam kotestasi demokrasi lokal bernama pilkada ini adalah bukan siapa yang terpilih tetapi lebih kepada kredibilitas pemimpin yang mampu mensejahterakan rakyat Nganjuk.
Oleh karena itu, money politic menjadi acaman bagi proses demokrasi lokal. Demokrasi hanya menjadi konsumsi publik yang miskin substansi. Karena demokrasi dibajak oleh kepentingan segelintir orang yang memiliki modal tetapi miskin visi. Dan pada gilirannya, money politik dalam pilkada langsung tidak bisa dihindari[]

Oleh Emil Subhan Maulana
Penulis adalah anggota PPK Kec. Patianrowo

1 komentar:

  1. Jelek tp dapat juara 2 dalam lomba penulisan karya tulis ilmiah populer oleh KPU Kab. Nganjuk tahun 2012

    BalasHapus