Potensi Konflik Politik Lokal dalam Pilkada Langsung
Oleh : Emil Subhan Maulana
Pemilihan kepala daerah secara langsung sebentar lagi akan digelar Hal ini
menjadi cermin bahwa demokrasi sebagai komitmen politik dalam membangun
kesejahteraan rakyat tidak sekadar wacana. Lebih dari itu, pilkada
langsung sebagai penguatan demokrasi lokal patut diapresiasi oleh elemen
masyarakat agar berjalan dengan aman dan lancar .
Tentunya pilkada langsung sebagai momentum demokratisasi tidak hanya menjadi
ritual dalam suksesi kepemimpinan untuk meraih kekuasaan, akan tetapi pilkada
langsung sebagai pembelajaran dan pendidikan politik terhadap masyarakat akar
rumput (grass root) sehingga nantinya diharapkan proses demokratisasi
tidak mengalami hambatan yang berarti, idealnya demokratisasi tidak sekadar
menjadi kelengkapan administrative dalam sistem kenegaraan, akan tetapi
demokratisasi menjadi pilar dan ruh yang kokoh dalam setiap peralihan
kepemimpinan-kekuasaan.
Sebagian masyarakat menilai bahwa masyarakat kita telah
mampu menjalankan nilai-nilai demokrasi. Buktinya, dalam pemilihan presiden secara langsung bisa berjalan dengan
lancar tanpa melahirkan kekerasan politik ditingkatan akar rumput. Hal itu
tentunya menjadi referesensi positif bagi budaya demokrasi di Indoensia,
sehingga Otonomi Daerah dengan UU 32/2004
dijadikan landasan progresiv guna melaksanakan hajatan demokrasi lokal melalui
pemilihan kepala daerah secara langsung.
Agaknya, pilakda langsung sebagai medium dalam membangun demokrasi ditingkatan
lokal akan mengalami persoalan yang amat pelik-bahkan delimatis. Disatu sisi
pilkada langsung menjadi sarana dalam penguatan demokrasi lokal, namun disisi
lain kultur politik masyarakat lokal tidak mendukung, karena ketergantungan
terhadap politik nasional tak bisa kita bantah kebenarannya, sehingga
yang terjadi pemilihan kepala daerah menjadi distortif dari cita-cita
awalnya,lantaran adanya intervensi pusat.
Di samping itu, dominasi partai dalam pilkada langsung menjadi salah satu
kendala yang menyebabkan terhambatnya calon independen yang berasal dari
rakyat, seperti perguruan tinggi, LSM dan Ormas,
realitas ini telah mereduksi cita-cita demokrasi di mana kebebasan, persamaan
hak harus diberangus oleh partai yang mendominasi bahkan menopoli dalam proses
pilkada langsung. Dan pada gilirannya pilkada langsung tidak melahirkan
penguatan demokrasi lokal, justru yang terjadi adalah kamuflase demokrasi yang
mewariskan kekuasaan kepada tokoh elit yang memiliki duit karena mampu melamar
partai yang mempunyai basis pada daerah tersebut.
Rasionalitas politik lokal sebagai jangkar demokrasi belum terbangun secara
optimal, Karena patronase politik masih kental dan mengendap dalam
kultur masyarakat kita, terlebih masyarakat Nganjuk. Tokoh elit memiliki kendali kuat dalam memobilisasi
massa di kalangan masyarakat akar rumput. Apalagi ketika elit politik berasal
dari tokoh agama-sebagaimana yang diungkapkan Bellah dalam sejarahnya bahwa
agama menjadi instrumen legitimasi efektif dan menyebar. Dengan demikian agama
sering dijadikan daya pemikat bagi elit keagamaan dalam meraih politik
kekuasaan. Agama lebih banyak tampil dalam meraih politik kekuasaan, sejatinya
agama hadir sebagai tata nilai yang nantinya melahirkan kesantunan politik dan
kekuasaan yang dioreintasikan pada kesejahteraan rakyat
Pilkada langsung merupakan ujian bahkan tantangan bagi daerah dalam menegakkan
demokrasi ditingkatan lokal, karena sistem ini merupakan sistem baru yang
dihadapi oleh masyarakat. Tentunya pilkada ini sangat rawan dengan money
politic, berbagai manipulasi, dan mobilisasi massa, karena masyarakat
belum terbiasa dengan sistem ini, walaupun dalam pemilihan presiden secara
langsung (pilpres) masyarakat sudah teruji. Namun, pilkada langsung
sangat beberbeda dengan pemilihan presiden secara langsung. Primordialisme
politik (etnis, aliran, kedaerahan) menjadi bagian yang akan
memicu terjadinya kekerasan politik. Akhirnya, konflik horizontal antara
pendukung kubu yang satu dengan kubu yang lain tak bisa dihindari.
Kekerasan politik dan konflik ditingkatan masyarakat akar rumput sulit
dibendung manakala masyarakat belum menerima kekalahan calonnya. Kekerasan
massa yang terjadi di Sampang, Tuban dan beberapa daerah lain beberapa tahun yang lalu. Di sampang pendukung Bupati Fadilah-sekarang
dengan massa yang menolak Fadilah. Sementara di Tuban (2006) pendukung salah
satu calon merusak beberapa fasilitas milih pemerintah karena tidak puas dengan
hasil perolehan suara pasangan calon. Ini
merupakan potret nyata bahwa demokrasi lokal dalam keadaan sakit.
Peristiwa di atas kemungkinan besar akan muncul dalam
proses pilkada langsung nanti, karena sentimen kedaerahan akan memicu munculnya
egoisme politik massa pendukung calon tersebut yang gagal menjadi kepala
daerah. Apalagi secara georafis pendukung antar kubu sangat berdekatan,
sehingga sangat rawan terjadinya konflik di arus bawah.
Dalam perspektif sosiologis kerusuhan dan kekerasan
sebagai bentuk dan perilaku sosial. Artinya, sebagai produk dan stimulan
perilaku-perilaku orang lain. Indivdu yang melakukan kekerasan bukanlah untuk
memenuhi kepuasan diri sendiri, melainkan dalam kepuasan kolektif (Rule 1988
dan Tilly 1985). Dalam konteks pilkda langsung, potensi konflik politik lokal
sangat besar, karena kapasitas pemilih dan rasionalitas politik belum bisa
dijadikan landasan serta pijakan dalam menentukan pemimpinnya. Maka tak
terelakkan, manakala, penolakan massa pendukung sebagai bentuk ketidakpuasan
diangggap sebagai solusi bagi pendukung calon yang kalah.
Dalam Why Men Rebel (1970) Ted Robert Gur seorang ilmuwan sosial
yang memusatkan perhatiannya pada kekerasan politis dengan menggunakan
teori deprivasi relatif . Menurut Gurr kekerasan muncul
karena adanya deprivasi relatif yang dialami masyarakat sebagai
perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value expectation) dengan
kapabilitas nilai (value capabilities) yang dimiliki seseorang.
Nilai harapan (value expectation) adalah harapan akan kualitas hidup
kehidupan sebagai hak untuk dinikmati. Sedangkan nilai kapabilitas (value
capabilities) sebagai kondisi untuk mendapatkan harapan itu. Bahkan Gurr
meyakini bahwa ketidakpuasaan deprivatif relatif akan melahirkan
terjadinya berbagai aksi kekerasan massal, karena semakin besar intensitas
ketidakpuasan semakin besar dorongan untuk melakukan kekerasan.
Sementara dalam relasi kekuasaan dan kekerasan, Galtung lebih menekankan pada
struktur kekuasaan hegemonik yang mendominasi dalam konstruksi sosial yang
dilegitimasikan dalam cara-cara kekerasan, kekearasan struktural maupun
kekerasan personal. Oleh karena itu Galtung (1980) merumuskan apa yang
disebut kekerasan sebagai kekerasan yang menyebabakan seseorang terhalang dalam
mengaktualisakan potensi diri secara wajar (any avoidable inpedemint to
self-realization ).
Tentunya, hajatan demokrasi lokal dengan mumentum pilkada langsung tidak akan
melahirkan kekerasan massa, walaupun potensi timbulnya konflik dan
kekerasan massa itu sangat besar, karena dominasi elit dalam pilkada itu tidak
bisa kita pungkiri. Sehingga elit politik sebagai aktor dominan dalam pilkada
langsung dituntut untuk melakukan komunikasi politik yang santun terhadap massa
arus bawah. Kita meyakini bahwa sebenarnya konflik dan kekerasan bukan
fitrah manusia. Akan tetapi jika elit tidak melakukan komunikasi politik
yang konstruktif serta melakukan pemberdayaan politik (political empowering)
terhadap massa di bawah maka konflik dan kekerasan massa tidak bisa
dihindari.[]semoga
semoga
BalasHapus