Senin, 22 Oktober 2012

Potensi Konflik Politik Lokal dalam Pilkada Langsung

Potensi Konflik Politik Lokal dalam Pilkada Langsung
Oleh : Emil Subhan Maulana

            Pemilihan kepala daerah secara langsung sebentar lagi akan digelar Hal ini menjadi cermin bahwa demokrasi sebagai komitmen politik dalam membangun kesejahteraan rakyat  tidak sekadar wacana. Lebih dari itu, pilkada langsung sebagai penguatan demokrasi lokal patut diapresiasi oleh elemen masyarakat agar berjalan dengan aman dan lancar .
            Tentunya pilkada langsung sebagai momentum demokratisasi tidak hanya menjadi ritual dalam suksesi kepemimpinan untuk meraih kekuasaan, akan tetapi pilkada langsung sebagai pembelajaran dan pendidikan politik terhadap masyarakat akar rumput (grass root) sehingga nantinya diharapkan proses demokratisasi tidak mengalami hambatan yang berarti, idealnya demokratisasi tidak sekadar menjadi kelengkapan administrative dalam sistem kenegaraan, akan tetapi demokratisasi menjadi pilar dan ruh yang kokoh dalam setiap peralihan kepemimpinan-kekuasaan.
            Sebagian masyarakat menilai bahwa masyarakat kita telah mampu menjalankan nilai-nilai demokrasi. Buktinya, dalam pemilihan presiden secara langsung bisa berjalan dengan lancar tanpa melahirkan kekerasan politik ditingkatan akar rumput. Hal itu tentunya menjadi referesensi positif bagi budaya demokrasi di Indoensia, sehingga Otonomi Daerah dengan UU 32/2004  dijadikan landasan progresiv guna melaksanakan hajatan demokrasi lokal melalui pemilihan kepala daerah secara langsung.
            Agaknya, pilakda langsung sebagai medium dalam membangun demokrasi ditingkatan lokal akan mengalami persoalan yang amat pelik-bahkan delimatis. Disatu sisi pilkada langsung menjadi sarana dalam penguatan demokrasi lokal, namun disisi lain kultur politik masyarakat lokal tidak mendukung, karena ketergantungan terhadap politik nasional tak bisa kita bantah  kebenarannya, sehingga yang terjadi pemilihan kepala daerah  menjadi distortif dari cita-cita awalnya,lantaran adanya intervensi pusat.
            Di samping itu, dominasi partai dalam pilkada langsung menjadi salah satu kendala yang menyebabkan terhambatnya calon independen yang berasal dari rakyat, seperti perguruan tinggi, LSM dan Ormas, realitas ini telah mereduksi cita-cita demokrasi di mana kebebasan, persamaan hak harus diberangus oleh partai yang mendominasi bahkan menopoli dalam proses pilkada langsung. Dan pada gilirannya pilkada langsung tidak melahirkan penguatan demokrasi lokal, justru yang terjadi adalah kamuflase demokrasi yang mewariskan kekuasaan kepada tokoh elit yang memiliki duit karena mampu melamar partai yang mempunyai basis pada daerah tersebut.
            Rasionalitas politik lokal sebagai jangkar demokrasi belum terbangun secara optimal, Karena patronase  politik masih kental dan mengendap dalam kultur masyarakat kita, terlebih masyarakat Nganjuk. Tokoh elit memiliki kendali kuat dalam memobilisasi massa di kalangan masyarakat akar rumput. Apalagi ketika elit politik berasal dari tokoh agama-sebagaimana yang diungkapkan Bellah dalam sejarahnya bahwa agama menjadi instrumen legitimasi efektif dan menyebar. Dengan demikian agama sering dijadikan daya pemikat bagi elit keagamaan dalam meraih politik kekuasaan. Agama lebih banyak tampil dalam meraih politik kekuasaan, sejatinya agama hadir sebagai tata nilai yang nantinya melahirkan kesantunan politik dan kekuasaan yang dioreintasikan pada kesejahteraan rakyat
            Pilkada langsung merupakan ujian bahkan tantangan bagi daerah dalam menegakkan demokrasi ditingkatan lokal, karena sistem ini merupakan sistem baru yang dihadapi oleh masyarakat. Tentunya pilkada ini sangat  rawan dengan money politic, berbagai manipulasi, dan mobilisasi  massa, karena masyarakat belum terbiasa dengan sistem ini, walaupun dalam pemilihan presiden secara langsung (pilpres)  masyarakat sudah teruji. Namun, pilkada langsung sangat beberbeda dengan pemilihan presiden secara langsung. Primordialisme politik (etnis, aliran, kedaerahan)  menjadi bagian yang akan memicu terjadinya kekerasan politik. Akhirnya, konflik horizontal antara pendukung  kubu yang satu dengan kubu yang lain  tak bisa dihindari. Kekerasan politik dan konflik ditingkatan masyarakat akar rumput  sulit dibendung manakala masyarakat belum menerima kekalahan calonnya. Kekerasan massa yang terjadi di Sampang, Tuban dan beberapa daerah lain beberapa tahun yang lalu. Di sampang pendukung Bupati Fadilah-sekarang dengan massa yang menolak Fadilah. Sementara di Tuban (2006) pendukung salah satu calon merusak beberapa fasilitas milih pemerintah karena tidak puas dengan hasil  perolehan suara pasangan calon. Ini merupakan potret nyata bahwa demokrasi lokal  dalam keadaan sakit.
Peristiwa di atas kemungkinan besar akan muncul dalam proses pilkada langsung nanti, karena sentimen kedaerahan akan memicu munculnya egoisme politik massa pendukung calon tersebut yang gagal menjadi kepala daerah. Apalagi secara georafis pendukung antar kubu sangat berdekatan, sehingga sangat rawan terjadinya konflik di arus bawah.
Dalam perspektif sosiologis kerusuhan dan kekerasan sebagai bentuk dan perilaku sosial. Artinya, sebagai produk dan stimulan perilaku-perilaku orang lain. Indivdu yang melakukan kekerasan bukanlah untuk memenuhi kepuasan diri sendiri, melainkan dalam kepuasan kolektif (Rule 1988 dan Tilly 1985). Dalam konteks pilkda langsung, potensi konflik politik lokal sangat besar, karena kapasitas pemilih dan rasionalitas politik belum bisa dijadikan landasan serta pijakan dalam menentukan pemimpinnya. Maka tak terelakkan, manakala, penolakan massa pendukung sebagai bentuk ketidakpuasan diangggap sebagai  solusi bagi pendukung calon yang kalah.
            Dalam Why Men Rebel  (1970) Ted Robert Gur seorang ilmuwan sosial yang memusatkan perhatiannya pada kekerasan politis dengan menggunakan teori  deprivasi relatif . Menurut  Gurr kekerasan muncul karena adanya deprivasi relatif  yang dialami masyarakat sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value expectation) dengan kapabilitas nilai (value capabilities)  yang dimiliki seseorang. Nilai harapan (value expectation) adalah harapan akan kualitas hidup kehidupan sebagai hak untuk dinikmati. Sedangkan nilai kapabilitas (value capabilities) sebagai kondisi untuk mendapatkan harapan itu. Bahkan Gurr meyakini bahwa ketidakpuasaan deprivatif  relatif akan melahirkan terjadinya berbagai aksi kekerasan massal, karena semakin besar intensitas ketidakpuasan semakin besar dorongan untuk melakukan kekerasan.
            Sementara dalam relasi kekuasaan dan kekerasan, Galtung lebih menekankan pada struktur kekuasaan hegemonik yang mendominasi dalam konstruksi sosial yang dilegitimasikan dalam cara-cara kekerasan, kekearasan struktural maupun kekerasan personal. Oleh karena itu Galtung (1980) merumuskan  apa yang disebut kekerasan sebagai kekerasan yang menyebabakan seseorang terhalang dalam mengaktualisakan potensi diri secara wajar (any avoidable inpedemint to self-realization ).
            Tentunya, hajatan demokrasi lokal dengan mumentum pilkada langsung tidak akan melahirkan kekerasan massa, walaupun  potensi timbulnya konflik dan kekerasan massa itu sangat besar, karena dominasi elit dalam pilkada itu tidak bisa kita pungkiri. Sehingga elit politik sebagai aktor dominan dalam pilkada langsung dituntut untuk melakukan komunikasi politik yang santun terhadap massa arus bawah. Kita meyakini bahwa sebenarnya konflik dan kekerasan  bukan fitrah manusia. Akan tetapi jika elit  tidak melakukan komunikasi politik yang konstruktif serta melakukan pemberdayaan politik (political empowering)  terhadap massa di bawah maka konflik dan kekerasan massa tidak bisa dihindari.[]semoga


1 komentar: