Selasa, 22 Desember 2009

Sebuah Ironi Penegakan Hukum di Indonesia


Lagi-lagi sebuah ironi terjadi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia. Setelah Nenek Minah, yang harus berurusan dengan pengadilan gara2 mengambil 3 buah kakau. Kini Kholil (51) dan Basar (40) warga Lingkungan Bujel, Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kab. Kediri juga harus berusan dengan hukum gara mengambil semangka milik Darwati (34), warga Kelurahan Ngampel, Kecamatan Mojoroto, Kab. Kediri.


Keduanya menjadi pesakitan di pengadilan karena mencuri 1 buah semangka dan terancam hukuman lima tahun penjara. Kholil dan Basar pada hari Selasa (24/11/2009) menjalani sidang perdana.

Terlepas dari salah dan benar, apa yang diterima keduanya Tak sebanding antara perbuatan dengan hukuman yang diterimanya. Apalagi menurut kesaksian tersangka di TV One malam ini, Kamis (26/11/2009) dalam proses sampai ke pengadilan tidak didahului dengan pemeriksaan terlebih dahulu dan dalam sidangnya tidak di dampingi oleh kuasa hukum. Padahal dalam undang2 jelas disebutkan bahwa setiap warga Negara harus mendapatkan perlakuan huku yang sama. Terlebih dari itu mereka juga mendapat “siksaan” dari oknum polisi.

Didalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1) menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Ini merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara, termasuk orang yang tidak mampu, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik. Posisi dan kedudukan seseorang didepan hukum (the equality of law) ini, menjadi sangat penting dalam mewujudkan tatanan system hukum serta rasa keadilan masyarakat kita.

Pada bagian lain, jaminan atas akses bantuan hukum juga disebutkan secara eksplisit pada Pasal 28G ayat (1), yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Hal tersebut semakin dikuatkan pada Pasal 28H ayat (2), yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Secara substantive, hal tersebut di atas, dapat kita maknai bahwa jaminan akses keadilan melalui bantuan hukum, adalah perintah tegas dalam konstitusi kita. Dan bantuan hukum yang dipandang sebagai salah satu hak asasi atau dasar setiap orang, tentu harus diberikan secara Cuma-Cuma, seperti halnya dengan hak untuk hidup, hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh kesehatan, hak untuk berpendat dan berpikir.

Hak Tersangka untuk didampingi Penasehat Hukum

Warga negara yang menjadi tersangka berhak untuk didamping oleh Penasehat Hukum. Untuk kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana seorang warga negara yang menjadi tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54 KUHAP).Selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 55 KUHAP).

Jika tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana dikenakan penahanan, maka dia berhak untuk menghubungi penasehat hukumnya ( Pasal 57 KUHAP ayat (1) KUHAP). Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 37 Undang –Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum dalam pasal ini diberikan oleh seorang penasehat hukum atau saat ini lebih dikenal dengan “advokat”. Dan menurut ketentuan pasal 38 Undang –Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana para koruptor (Anggoro, anggodo dll) bisa dengan leluasa melenggang tanpa adanya hukuman. Bahkan proses penangkapan yang terkesan tidak sepenuh hati karena sampai saat ini anggodo bisa dengan bebas menghirup udara bebas tanpa adanya hukuman apapun dan status tersangka saja belum melekat pada kedua mafia kelas kakap itu.

Siapa yang salah?

Undang-undangnya atau pelaksana undang-undang?

Dalam kasus Kholil dan Basar, kita tidak ingin membenarkan keduanya tetapi yang kita inginkan hanya keadilan yang merata. Kalau Kholil dan Basar mencuri/mengambil 1 buah semangka dituntut 5 tahun penjara maka kita juga ingin koruptor yang mencuri uang rakyat sampai milyaran itu dihukum dengan hukuman yang lebih berat tentunya.

Ketidak Adilan yang lain

Video Mesuk SMA Negeri Kertosono

Menurut kesaksian dari keluarga; Aktor mesum yang tak lain adalah siswa SMA Negeri 1 Kertosono dan “Calon Polisi” pada keduanya hanya berkedudukan sebagai saksi dan justru yang menyebarkan video itu malah mendapat hukuman penjara.

Kalau semua orang mesum tidak mendapat hukuman maka bangsa ini akan dipenuhi dengan pezina. Secara tegas Negara ini melindungi kemaksiatan yang terjadi. Dan kalau dibiarkan begini terus, maka pertanyaan yang selalui menghantui setiap orang adalah “Mau jadi seperti apa bangsa ini?”. Bisa jadi ini adalah indicator pertama hancurnya tatanan hukum Indonesia.

Sekarang Indonesia menanti kehancuran!!

Atas kasus-kasus di atas, apa yang harus kita perbuat untuk melindungi bangsa ini dari kehancuran? Akankah kita akan membiarkan ketimpangan ini terus berjalan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar