Seperti
sementara dapat dirumuskan, bahwa hukum itu adalah kumpulan dari
berbagai aturan-aturan hidup (tertulis atau tidak tertulis), yang menentukan
apakah yang patut dan tidak patut dilakukan dilakukan oleh seseorang dalam
pergaulan hidupnya, suatu hal khusus terdapat dalam peraturan-peraturan hidup
itu, yakni bahawa untuk pentaatannya ketentuan itu dapat dipaksakan berlakunya.
Namun uraian di atas belum menjelaskan maksud dan tujuan hukum, belum jelas apa
sebenarnya keinginan hukum itu.
Dalam
bagian ini kita tidak ingin mengungkap maksud dan tujuan hukum, tetapi lebih
kepada untuk mengetahi sistematika perumusan dan pembentukan hukum seta
siapa-siapa yang berwenang dalam proses pembuatan hukum.
Eksekutif
Lembaga
eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan eksekutif
biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan dalam
arti sempit yang melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan haluan negara, untuk mencapai
tujuan negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet
atau dewan menteri dimana masing-masing menteri memimpin departemen dalam
melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.
Lembaga-Lembaga
Eksekutif adalah: Presiden dan Wakil Presiden, DPR, MA, dan MK. Sebelum
perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan
(separation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan
(distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan
tertinggi (eksekutif) tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang
atau kekuasaan legislatif bersama dengan DPR sebagai co-legislator-nya.
sedangkan masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum
perubahan dilakukan oleh sebuah MA dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang
Lembaga
Legeslatif
Legislatif
adalah badan deliberatif pemerintah dengan kuasa membuat hukum. Legislatif
dikenal dengan beberapa nama, yaitu parlemen, kongres, dan asembli
nasional. Dalam sistem Parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan
menujuk eksekutif.
Lembaga-lembaga
legeslatif dan tugasnya :
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sesuai
dengan Pasal 3 Ayat 1 UUD 1945 MPR amandemen mempunyai tugas dan wewenang
sebagai berikut :
·
mengubah dan menetapkan undang-undang dasar;
·
melantik presiden dan wakil presiden;
·
memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam
masa jabatannya menurut undang-undang dasar.
2. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
·
Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai
lembaga pembuat undang-undang.
·
Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai
lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
·
Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga
yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang.
3. Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
Sesuai
dengan Pasal 22 D UUD 1945 maka kewenangan DPD, antara lain sebagai berikut.
a. Dapat
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b. Ikut
merancang undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
c. Dapat
memberi pertimbangan kepada DPR yang berkaitan dengan rancangan undang-undang,
RAPBN, pajak, pendidikan, dan agama.
d. Dapat
melakukan pengawasan yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang otonomi
daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, perimbangan keuangan pusat dengan daerah, pajak, pendidikan, dan
agama.
Alur
Pembuatan Undang-undang

Peran
Serta Masyarakat
Di
era reformasi yang serba terbuka sepertisekarang ini perlu dikembangkan wacana
adanya demokrasi partisipatoris dalam proses pembentukan perundang-undangan
guna menghasilkan produk perundang-undangan yang responsif. Oleh karena itu,
sumbangan pemikiran berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses
pembentukan perundang-undangan sangat diperlukan. Produk perundang-undangan
pada masa Orde Baru lebih merupakan proses yang top down sehingga pada
gilirannya banyak produk perundang-undangan yang merugikan masyarakat namun tetap
harus diterima oleh bangsa Indonesia dan berakhir pada adanya reformasi 1998.
Sementara itu, pasca reformasi 1998 tuntutan proses pembentukan
perundang-undangan yang partisipatif terasa meningkat seiring dengan terjadinya
dinamika proses politik yang semakin demokratis. Proses pembentukan
perundang-undangan di masa yang akan datang akan terus meningkat sejalan dengan
tingkat kesadaran berdemokrasi dan kompleksitas kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Saifudin
dalam buku Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (2009) Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan
undang-undang pada dasarnya dapat dilakukan dalam berbagai model pilihan
partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik suatu negara.
Partisipasi masyarakat ini akan tergantung dari kesadaran masyarakat dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk memberikan
kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik untuk disimak uraian
penulis dalam buku ini berkaitan dengan adanya pemahaman terhadap masing-masing
model partisipasi publik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Model
Pertama : Pure Representative Democracy
Sifat
partisipasi masyarakat masih “pure” atau murni. Artinya, keterlbatan rakyat
dalam pengambilan keputusan publik dilakukan oleh wakil-wakil (DPR)
b. Model
Kedua : A Basic Model of Public Participation
Rakyat
telah melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan,
tidak hanya melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan
kontak dengan lembaga perwakilan.
c. Model
Ketiga : A Realism Model of Public Participation
Dalam
model pilihan yang ketiga ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung
dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompok-kelompok kepentingan dan
organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir.
d. Model
Keempat : The Possible Ideal for South Africa
Merupakan
perluasan dalam memasukkan kelompok partisipan,
Read More..